BAB XII: Penjara Sukamiskin

BAB XII: Penjara Sukamiskin

DELAPAN bulan lamanya aku berada dalam penahanan keras. Yang dapat kulihat hanya penjaga selku.
Kalau tawanan‐tawanan lain tidak ada lagi di pekarangan, aku baru dibawa keluar sarangku selama
setengah jam pagi dan sekali lagi setengah jam diwaktu sore. Aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk
berbicara dengan Gatot. Belanda dengan sengaja memisahkan kami. Aku tidak pernah mendapat
perlakuan yang kejam. Sesungguhnya aku selalu diperlakukan terlalu baik. Kalau tadinya pejabat
pemerintah selalu mencatat segala gerak‐gerikku, maka sekarang petugas penjara selalu menjaga supaya
aku tidak mengadakan protes terhadap segala sesuatu. Perlakuan yang berlebih‐lebihan demikian itu
sama saja hebatnya dengan kekejaman, oleh karena yang terkchir ini masih memberi kesempatan untuk
berhubungan dengan manusia. Karena mereka kuatir aku akan berhubungan dengan kawan‐kawan
senasib dan merusakkan cara mereka berpikir, aku dipekerjakan dekat Direktur penjara. Dengan demikian
penjagaan terhadap diriku lebih diperkuat. Aku dipekerjakan di pecetakan dimana aku membanting
tulang memeras keringat dalam puluhan rim kertas untuk dijadikan buku catatan. Aku menyeret kertas itu
mengempanya, memuat dan membongkar mesin penggaris dan potong yang besar dan penuh gemuk itu.
Mulai dari matahari terbit aku membuat garis di atas kertas. Sehari penuh, hari berganti hari, kerjaku tidak
lain dari membuat garis‐garis itu. Pekerjaan yang membosankan untuk orang seperti Sukarno. Sehari‐hari
hanya membuat garis.
Di waktu jam makanpun dianggap terlalu berbahaya untuk mencampurkan “Sukarno orang berbahaya”
dengan orang Indonesia lainnya. Aku dicampurkan dengan orang Belanda hukuman tingkat tinggi, seperti
mereka yang dihukum karena penggelapan uang jabatan atau korupsi. Satu‐satunya yang dapat
kubicarakan dengan Belanda kelas tinggi ini adalah mengenai makanan atau keadaan cuaca. Para petugas
tetap menjaga agar aku tidak membicarakan soal‐soal politik.
Di Sukamiskin aku membiasakan diri makan cepat. Bahkan sekarangpun, kalau aku mengadakan jamuan
makan kenegaraan, aku sudah selesai makan sebelum setengah dari para tetamuku dilayani. Coba pikir,
kami semuanya ada kira‐kira 900 orang. Kamar‐makan yang berukuran kecil itu hanya mempunjai 25
meja kayu, masing‐masing memuat sepuluh orang. Kami makan secara bergiliran. Gong berbunyi, setiap
orang masuk dengan membawa piring aluminium, tempat sayur alumimum, cangkir dan sendok. Enam
menit kemudian kelompok ini berbaris menuju kran air di luar untuk mencuci alat makannya dan
sementara itu rombongan 250 orang yang lain berbaris masuk. Enam menit kemudian rombongan yang
lain lagi. Tak ubahnya seperti membuat barang dalam pabrik saja secara berurutan.
Kami mandi menurut waktu. Aku diberi waktu enam menit untuk rnembersihkan seluruh badan, penuh
dengan minyak dari kepaia sampai ke kaki yang melekat di tangan, kaki dan pipi. Setiap enam menit
giliran yang lain. Dan kami ada setengah lusin orang yang berebut air dibawah satu pancoran.
Banyak kebiasaan‐kebiasaan siang dan malam dalam bui masih terbawa‐bawa olehku dalam 35 tahun ini.
Aku sudah terbiasa berbaring di atas tempat yang keras dan tipis, begitupun sekarang Sebagai Kepala
Negara aku tidak tidur di atas alas sutera dan kasur empuk. Sesungguhnya aku sering turun dari tempat
tidur yang enak dan menggeletak di atas lantai. Aku lebih enak tidur dengan cara begitu.
Setelah beberapa bulan dalam pengasingan ini, aku dibolehkan menerima kue dan telor dari luar.
Makanan ini mula‐mula diperiksa dengan teliti oleh penjaga. Sungguhpun demikian, berita masih dapat
lolos dengan pengiriman makanan ini, oleh karena sebelum masuk tahanan aku sudah mengatur tandatanda,
sehingga jikalau terjadi sesuatu yang tak dapat dihindarkan, maka orang yang paling dekat
kepadaku masih dapat mengadakan hubungan. Dalam hal kabar buruk Inggit mengirimkan telor asin. Ini
terjadi beberapa kali. Akan tetapi yang kuketahui hanyalah bahwa ada kabar buruk. Hanya itu. Dan ini
pulalah yang membikinku seperti orang gila, karena tidak mengetahui bala apa yang telah menimpa.
Rupanya sudah menjadi sifat manusia untuk bertahan terhadap kesulitan. Inilah saat‐saat yang menyiksa
diriku.
Isteriku diberi kelonggaran untuk berkunjung hanya dua kali dalam seminggu dan surat‐suratku selalu
diteliti. Jadi, saluran informasi yang paling banyak bagiku adalah buku‐buku agama yang diperkenankan
dibawa dari luar. Aku mengakali suatu cara dengan menggunakan lobang‐lobang jarum. Umpamakan
Inggit mengirimiku Quran pada tanggal 24 April. Aku harus membuka Surah 4 halaman 24 dan dengan
ujung jari aku meraba dengan teliti. Di bawah huruf‐huruf tertentu terdapatlah bintik bekas lobang jarum.
Caranya seperti huruf braille. Dibawah huruf A terasa bintik kecil. Dibawah huruf N sebuah bintik lagi dan
seterusnya. Dengan jalan demikian aku dapat mengetahui isi berita di hari‐hari selanjutnya.
Kalau isteriku membawakan telor biasa, aku meneliti kulitnya teriebih duiu sebelum memakannya. Satu
tusukan peniti berarti “kabar baik”. Dua tusukan “seorang kawan ditangkap”. Tiga tusukan berarti
“Penyergapan besar‐besaran. Semua pemimpin ditangkap”.
Ibu dan bapakku tidak pernah datang. Mereka tidak akan sanggup memandangi si anak sayang terkurung
dalam kandang yang sempit, yang panjangnya hanya limabelas ubin dan lebar duabelas ubin itu. Mereka
tidak akan sanggup melihat aku dikeluarkan seperti binatang yang digiring untuk diangin‐anginkan.
Kakakku Sukarmini datang dua kali, ia bekerja dengan semangat yang bernyala‐nyala untuk P.N.I. Kami
menggunakan gerakan tangan atau lain‐lain sebagai tanda pemberitaan. Kalau ia menarik telinganya,
menyilangkan jarinya aku mengerdipkan mata, ataupun menggerakkan salah satu tangan yang
kelihatannya kosong saja atau menggerakkan mukanya, semua ini membawa artinya sendiri‐sendiri. Ia
bisa banyak berbicara dengan jalan ini.
Ketika pertama kali melihatku ia surut memandangi wajahku. Selain dari berat badanku yang semakin
berkurang, iapun kaget melihat kulitku. Dua kali ia datang, dua kali pula ia memberikan komentar yang
sama. “Karno, kau sudah jadi hitam!”
“Memang,” aku tersenyum lesu. “Aku sudah jauh lebih hitam dari biasa.”
“Kenapa begitu?” ia berteriak. “Kau diapakan oleh mereka ?”
“Tidak diapa‐apakan, tapi aku yang mernbikin kulitku begini.” jawabku. “Dua kali dalam sehari kami diberi
kesempatan keluar sel selama beberapa menit. Ada yang menggunakan kesempatan ini untuk berjalanjalan
atau gerak badan atau bermain seperti main bola. Ada lagi yang duduk‐duduk berteduh dibawah
pohon.”
“Kau bagaimana !” tanyanya.
“Aku berbaring‐baring di tanah untuk meresapkan ke dalam tubuhku khasiat dari sinar matahari yang
membakar.”
“Aku tak pernah melihatmu berjemur begitu.”,,Memang selama ini tidak. Sebetulnya aku pusing karena
terlalu banyak cahaya matahari. Tapi aku harus mengeringkan tubuhku. Sel itu sangat dingin, gelap dan
lembab, jadi inilah satu‐satunya jalan untuk memanaskan tulang‐tulangku yang di dalam sekali.”
Kekejaman yang paling hebat yang dapat rnengganggu pikiran manusia adalah pengasingan. Sungguh
hebat akibatnya! la dapat menggoncangkan dan membelokkan kehidupan orang. Aku menyaksikan
kejadian‐kejadian yang memilukan hati. Aku menyaksikan kawan setahanan menjadi gila karena
syahwatnya. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat mereka melakukan “onani”. Pemuasan nafsu
terhadap diri sendiri. Aku mengetahui dan telah menyaksikan akibat yang menakutkan daripada
pengasingan terhadap laki‐laki yang normal.
Di hadapanku laki‐laki melakukan percintaan dengan laki‐laki lain. Seorang Belanda yang cerdas dan
potongan orang gede‐gede membanting‐tulang seperti budak dibagian benatu penjara. Aku sedang
berada dekatnya ketika penjaga penjara menyampaikan kepadanya bahwa ia akan dipindahkan bekerja
ke tempat yang lebih cocok dengan pembawaan mentalnya daripada pekerjaan membudak yang telah
dilakukannya begitu lama. “Kami akan dipindahkan tuan besok,” kata penjaga itu. “Mulai dari sekarang
tuan tidak perlu lagi membungkuk di bak uap dan tangan tuan tidak akan mengelupas lagi dalam air yang
mendidih. Karena kelakuan tuan yang baik, tuan diberi pekerjaan ringan di rumah obat.”
Belanda itu menjadi takut. Mulutnya bergerak gugup. “0 tidak. teriaknya sambil menggapai tangan
penjaga itu. “Tidak …. tidak … ach, tidak. Jangan aku dipindahkan kesana.”
Penjaga yang keheranan itu menyangka orang tahanan itu salah dengar. “Tuan tidak mengerti,” kata
penjaga mengulangi. “Ini suatu keringanan. Keringanan untuk mengerjakan yang lebih mudah.”
“Jjangan … jangan,” orang tahanan itu membela pendiriannya. “Percayalah padaku, aku tidak mau
keuntungan ini. Kuminta dengan sangat, biarkanlah aku bekerja di bagian benatu. Biar bekerja keras.”
“Kenapa ?” tanya penjaga tidak percaya.
“Karena,” bisiknya, “Tempatnya tertutup di sini dan aku selalu dilingkungi orang sepanjang waktu. disini
aku bisa berhubungan rapat dengan orang‐orang di sekelilingku. Sedang di rumah‐obat aku tak mendapat
kesempatan ini dan tidak akan bisa menggeser pada laki‐laki lain. Jangan …. jangan pindahkan aku
kesana. Inilah akibat pengurungan terhadap manusia.
Sungguh banyak persoalan homoseksuil diantara orang kulit putih. Seorang Belanda berambut keriting,
dengan pundaknya yang lebar dan sama seperti laki‐laki lain yang bisa dilihat dimana‐mana, telah dijatuhi
hukuman empat tahun kerja berat. Kejahatannya, karena bermain‐main dengan anak‐anak muda. Tapi
walaupun dihukum berkali‐kali untuk menginsyafkannya, namun nampaknya ratusan anak laki‐laki yang
berada di sekelilingnya adalah satu‐satunya obat bagi penyakitnya, wallahu’alam. Hukumannya telah
habis dan di pagi ia meninggalkan penjara, kukira dia bisa baik lagi.
Sebulan kemudian dia menonton bioskop. Dia duduk di bangku depan dikelilingi oleh delapan atau
sembilan anak‐anak muda. Orang kulit putih berambut pirang dan berbadan besar duduk di kelas
kambing yang disediakan untuk orang Bumiputera tentu mudah diketahui orang. Terutama kalau
perhatiannya tidak terpusat kepada film. Jadi, kembalilah ia mengayunkan langkah menuju bui. Penjara
bukanlah obatnya. Ia kembali ke selnya yang lama sebelum keadaannya berubah.
Jenis manusia yang begini berkumpul di suatu tempat di kota. Suatu hari terjadi ribut‐ribut di sebuah
hotel dan polisi datang. Seorang pemuda kedapatan terbaring di lantai di salah satu kamar menangis dan
menjerit. Ia dalam keadaan telanjang dan menjadi apa jang disebut pelacur. Langganannya adalah tiga
orang Belanda berbadan tegap dan kekar. Apakah yang menjadi sebab dari kegemparan ini? Anak pelacur
itu kemudian menerangkan sambil tersedu‐sedu, “Mula‐mula yang satu itu dari Korps Diplomatik ingin
dengan saya, lalu kawannya. Sekarang yang ketiga mau dengan saya lagi. Saya capek. Saya katakan, saya
tidak sanggup lagi dan apa tindakannya? Dia memukul saya!”
Orang kulit putih itu dimasukkan ke sel dibawahku. Disini ia berusaha lagi menawarkan kegemarannya
itu. Pada waklu tidak ada orang di sekelilingku, kutanyakan hal in kepadanya. “Kenapa?” tanyaku.
“Kenapa engkau mau bercinta denganku ?” Dan ia menjawab, “Karena disini tidak ,ada perempuan.”
Aku mengangguk, “Memang benar. Aku sendiri juga menginginkan kawan perempuan, tapi bagaimana
bisa ……….
“Kemudian ia menambahkan, “Yah, apalah perempuan itu kalau dibandingkan dengan lelaki?”
“Ooooh,” kataku terengah. “Kau sakit !”
Sudah tidak ragu lagi bahwa, kehidupan dalam kurungan menghancurkan, merobek‐robek kehendak
yang normal daripada daging. Ya, bahkan Kitab Injil menjatakan, bahwa seorang Laki‐laki akan melekat
pada isterinya. Aku senang berada dalam usia yang masih muda dan berkembang dalam kehidupan ini;
seorang yang kuat dan perasa ketika pintu besi menutup dibelakangku. Badanku ditawan. tapi
semangatku menjerit‐jerit didalam. Urat syarafku berteriak‐teriak oleh siksaan di kesunyian malam.
Keinginan biasa untuk memuaskan diri yang dimiliki oleh laki‐laki atas karunia Tuhan Yang Maha
Pemurah, tidak padam‐padamnya, hanya disebabkan oleh karena seorang hakim memukulkan palu dan
berkata, “Perkara ditutup !”
Setiap hari Natal orang‐orang dari Bala Keselamatan menyumbangkan makanan yang dibungkus untuk
orang tahanan yang diserahkan oleh lelaki dan perempuan berpakaian sopan yang tidak akan
membangkitkan berahi kami orang kurungan. Di minggu terakhir tahun 1930 seorang perempuan tua
jelek kotor lagi gemuk yang berumur lebih dari 60 tahun terhuyung‐huyung masuk selku menyampaikan
kemurahan hatinya. Ia memberikan roti Natal. Aku sadar bahwa aku berada dalam keadaan parah, ketika
wanita gemuk seperti babi itu kelihatan indah di ruang mataku. Selama satu saat dalam perjuangan batin,
maka dalam pikiranku ia adalah wanita paling cantik yang pernah kujumpai.
Aku dikurung dengan sungguh‐sungguh di Sukamiskin dengan perlakuan yang sama dengan pelanggar
hukum berkebangsaan Belanda, supaya aku tidak “meracuni” udara masyarakat tahanan Indonesia.
Sukamiskin adalah tempat bagi penjahat‐penjahat besar dan terbagi dalam tiga kelas. Mereka yang
terkena satu tahun penjara, termasuk Gatot, Maskun dan Supriadinata. Kemudian terdapat kelas untuk
hukuman dari satu sampai sepuluh tahun dan kelompok yang terbesar menjalani hukuman lebih dari
sepuluh tahun. Ada seorang pembunuh yang satu meja denganku, akan tetapi dia hanya dikenakan
duapuluh tahun. Dan tidak dikenakan seumur hidup, karena yang dibunuhnya hanya seorang Indonesia.
Yang seorang lagi dihukum 15 tahun bersama‐sama dengan saudaranya karena perampokan bersenjata
dan melakukan kekejaman di luar peri kemanusiaan.
Nomor selku 233. Menaiki tangga besi di tingkat kedua disudut. Seluruh blok itu dikosongkan buatku.
Tetanggaku yang terdekat adalah seorang pembunuh yang merampas seorang wanita, kemudian
membunuhnya dengan tiga orang anaknya.
Kawanku yang paling rapat ialah seorang Indo, bapaknya Belanda totok dan ibunya seorang Indonesia
dari Priangan. Setiap kali mendekatiku ia selalu mencoba memperlihatkan keramahannya. “Kawan” ini
yang sangat sayang kepadaku dihukum karena membunuh ayahnya yang selalu menyiksa ibunya. Di
Sukamiskin nyawa manusia tidak ada harganya, karena ia bisa. melayang untuk memperoleh sebungkus
rokok. Setiap orang berada dalam kekurangan dan memerlukan begitu banyak, sehingga orang dapat
menyuruh penggal musuhnya hanya dengan menyodorkan dua batang rokok dan membisikkan,
“Kelihatan orang disana itu yang pakai tanda dikuduknya? Bunuh dia dan ini bagianmu.” Percakapan
selanjutnya tidak perlu. Dengan jawaban “Baik” yang gembira orang itu lalu berjalan‐jalan mendekati
sasarannya dan menanamkan pisau ke dalam perut orang yang dimaksud. Sukamiskin penuh dengan
orang yang kehilangan semangat hidup sebagai tahanan. Ada seorang yang dikenakan 53 tahun penjara.
Orang seperti dia ini tidak akan rugi apa‐apa kalau membunuh seorang kawan dalam kurungan. Terutama
kalau dia bisa memperoleh barang mewah dengan cara itu. Begitulah lingkungan dimana putera sang
fadjar berada.
Para pembelaku mencoba meminta, agar aku menjalani hukuman di luar dinding tembok itu seperti juga
orang hukuman yang lain, akan tetapi permohonan ini ditolak. Hindia Belanda tidak keberatan memberi
kesempatan kepada Jack si Tukang Bunuh untuk menjalani hukuman di luar, akan tetapi untuk Singa
Podium hal ini terlalu berbahaya.
Ternyata bahwa masuk bui di suatu saat sama saja dengan yang lain. Otakku menderita kekurangan
darah. Kepalaku lekas sekali penuh dan selalu lelah. Sekalipun mereka mencoba untuk menghancurkan
otak kami sampai tak seorangpun yang mempunyai kemauan sendiri, namun aku tidak mau mentalku
dirobek‐robek oleh penjara. Bagaimanapun juga aku membikin hari‐hariku sendiri. Orang dapat
melakukan hal ini kalau kuat mentalnya. Jikalau orang menggantungkan cita‐citanya setinggi bintangbintang
di langit. Aku memaksakan diriku untuk menyadari bahwa cita‐cita yang besar datangnya pada
saat‐saat yang sepi, lalu aku mencoba membuktikan kebenaran dari kata‐kata mutiara, “Cita‐cita yang
besar dapat membelah dinding penjara.” Ketika membangkitkan diri secara mental, aku tidak saja
menjadi biasa dengan keadaanku, akan tetapi juga kupergunakan keadaan itu untuk menyusun rencanarencana
di masa yang akan datang.
Aku bahkan dapat berkata, bahwa aku berkembang dalam penjara. Ketetapan hatiku semakin kuat.
Ruang penjara adalah ruang sekolahku.
Karena dilarang membaca buku‐buku yang berbau politik, maka aku mulai mendalami Islam. Pada
dasarnya bangsa kami adalah bangsa beragama. Kami adalah rakyat yang tahu akan kewajiban kami
terhadap Tuhan. Ini dapat disaksikan di Bali, dimana seni dan tradisi sama sekali dipersembahkan kepada
Yang Maha Kuasa. Kalau orang berjalan‐jalan di kampung‐kampung di Jawa Barat, akan terdengar rakyat
menyanyijkan ayat‐ayat Al‐Quranul karim di sore hari. Di Jawa Tengah berdiri sebuah monumen dari
kehidupan kerohanian yang tinggi dari nenek moyang kami. Ia itu candi Prambanan sebagai lambang dari
puncak peradaban Hindu. 50 kilometer dari situ menjulang candi Borobudur, candi Buddha yang terbesar
di seluruh dunia. Orang menjumpai mesjid dan gereja di setiap kampung. Bangsa Indonesia semenjak
lahirnya mengabdi kepada Tuhan. Tidak menjadi soal jalan kepercayaan mana yang di tempuh, kami
mengakui bahwa hanya
kekuasaan Divina Providensia‐lah yang dapat melahirkan kami melalui abad‐abad penderitaan. Kami
adalah bangsa yang hidup dari pertanian dan siapakah yang menumbuhkan segala sesuatu? Al Chalik,
Yang Maha Pencipta. Kami terima ini sebagai kenyataan hidup.
Jadi aku adalah orang yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada Tuhan sejak dari lahir dan keyakinan ini
telah bersenyawa dengan diriku. Aku tak pernah mendapat didikan agama yang teratur karena bapak
tidak mendalam di bidang itu. Aku menemukan sendiri agama Islam dalam usia 15 tahun, ketika aku
menemani keluarga Tjokro mengikuti organisasi agama dan sosial bernama Muhammadiyah. Gedung
pertemuannya terletak di seberang rumah kami di Gang Peneleh. Sekali sebulan dari jam delapan sampai
jauh tengah malam 100 orang berdesak‐desak untuk mendengarkan pelajaran agama dan ini disusul
dengan tanya jawab. Sungguhpun aku asyik mendengarkan, tapi belumlah aku menemukan Islam dengan
betul‐betul dan sungguh‐sungguh sampai aku masuk penjara. Di dalam penjaralah aku menjadi penganut
yang sebenarnya.
Tak pernah orang meragukan adanya Yang Maha Esa kalau orang bertahun‐tahun lamanya terkurung
dalam dunia yang gelap. Seseorang merasa begitu dekat kepada Tuhan pada waktu ia mengintip melalui
lobang kecil dalam selnya dan melihat bintang‐bintang, kemudian merunduk disana selama berjam‐jam
dalam kesunjian yang sepi memikirkan akan suatu yang tidak ada batasnya dan segala sesuatu yang ada.
Pengasingan yang sepi mengurung seseorang sama sekali dari dunia luar. Karena pengasingan yang sepi
inilah aku semakin lama semakin percaya. Tengah malam kudapati diriku dengan sendirinya
bersembahyang dengan tenang.
Kepadamu kukatakan, saudara‐saudaraku yang membaca buku in —harapanku, sebagai usaha untuk
dapat memahami Sukarno sedikit lebih baik —lima kali sehari aku sujud secara lahir dan batin dalam
mengadakan hubungan dengan Maha Pencipta. Mungkinkah orang seperti itu jadi Komunis? Dimanapun
aku berada di dunia ini aku sujud menghadap ke Ka’bah di saat datangnya waktu Subuh, Dhuhur, Asar,
Magrib dan Isa—dan menyembah‐Nya. Segala sesuatu kujawab dengan “Insja Allah” — kalau Tuhan
menghendaki. Tanyalah, “Hei Sukarno, apakah engkau pergi ke Bogor minggu ini?” Aku akan menjawab,
“Insya Allah. Kalau Tuhan mengizinkan, saya pergi.” Mungkinkah orang yang demikian dapat menjadi
seorang Komunis?.
Aku sungguh‐sungguh mulai menelan Al Quran di tahun 28. Yaitu, bila aku terbangun aku membacanya.
Lalu aku memahami Tuhan bukanlah suatu pribadi. Aku menyadari. Tuhan tiada hingganya, meliputi
seluruh jagad. Maha Kuasa. Maha Ada. Tidak hanya disini atau disana, akan tetapi dmana‐mana. Ia hanya
satu— Tuhan ada diatas puncak gunung, di angkasa, di balik awan, di atas bintang‐bintang yang kulihat
setiap malam. Tuhan ada di Venus, dalam radius dari Saturnus. Ia tidak terbagi‐bagi di matahari dan di
bulan. Tidak. Ia berada dimana‐mana, di hadapanku, di belakangku, memimpinku, menjagaku. Ketika
kenyataan ini hinggap dalam diriku, aku insyaf bahwa aku tidak perlu takut‐takut lagi, karena Tuhan tidak
lebih jauh daripada kesadaranku. Aku hanya perlu memanjat ke dalam hatiku untuk menemui‐Nya. Aku
menyadari bahwa aku senantiasa dilindung‐Nya untuk mengerjakan sesuatu yang baik. Dan bahwa Ia
memimpin setiap langkahku menuju kemerdekaan.
Suatu malam, jauh di larut malam, sambil bersujud aku membisik kepada‐Nya, “Tuhan,” aku mendo’a,
“setiap manusia dapat menjadi seorang pemimpin asal saja dari keluarganya sendiri. Akan tetapi saya
mengetahui bahwa Engkaulah Gembala yang sesungguhnya. Saya insyaf bahwa satu‐satunya suara
kemanusiaan adalah Kata dari Tuhan. Mulai dari hari ini dan seterusnya saya telah bersiap memikul
tanggung jawab dari segala apa yang saya kerjakan, tidak saja terhadap bangsa Indonesia, tapi sekarang
juga terhadap‐Mu.”
Orang Belanda memandang kami, orang Islam, sama dengan penyembah berhala. Dalam bahasa Injil
kami adalah “keturunan yang sesat dan hilang”, kata mereka. Yah, penyembah berhala atau tidak, aku
seorang Islam yang hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali yang tertinggi dari Vatikan.
Bahkan Presiden dari Irlandiapun mengeluh padaku bahwa ia hanya memperoleh satu.
Dalam penjaraku aku mempelajari semua agama untuk melihat apakah aku ini termasuk salah seorang
yang “sesat dan hilang”. Kalau ia lebih baik untukku, aku akan mengambilnya. Kupelajari agama Kristen
pada Pendeta Van Lith. Aku terutama menaruh perhatian pada “Khotbah di atas Bukit”. Inspirasi Yesus
menyemangati orang‐orang syahid yang mula‐mula, karena itu mereka berjalan menuju kematiannya
sambil menyanyikan Zabur pujian untuk‐Nya, karena mereka tahu “Kami meninggalkan Kerajaan ini, akan
tetapi kami akan memasuki Kerajaan Tuhan”. Aku berpegang teguh pada itu. Aku membaca dan
membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku. Aku seringkali
mengulang mempelajarinya.
Kemudian aku membaca Al Quran. Dan hanya setelah meneguk pikiran‐pikiran Nabi Muhammad s.a.w.
aku tidak lagi mencari‐cari buku sosiologi untuk memperoleh jawaban atas bagaimana dan mengapa
segala‐galanya ini terjadi. Aku memperoleh seluruh jawabannja dalam ucapan‐ucapan Nabi. Dan aku
sangat puas.
Untunglah aku telah menemukan Tuhan dan jadilah Ia kawan yang paling kusayangi dan kupercayai
bilamana aku menderita pukulan yang hebat. Suatu penjara tak ubahnya bagai sebuah jala ikan. Ia
mempunyai lubang‐lubang. Melalui salah satu lubang datanglah berita? bahwa P.N.I.—anak yang
dilahirkan dan aku sebagai bapaknya, kuasuh dan besarkan sehingga dewasa—telah terpecah menjadi
dua dan persatuan terpecah belah. Aku tak sanggup mendengarnya. Untuk inilah kiranya aku
dipenjarakan, untuk inilah kiranya aku harus mengalami penahanan yang keras. Aku sudah sanggup
melalui siksaan batin, penghinaan dan pengasingan, karena aku senantiasa dapat melihat di ruang
mataku tujuan yang suci. Tapi sekarang—keadaan ini melebihi kekuatanku. Aku melakukan sesuatu yang
tidak biasa kulakukan dalam hidupku. Aku menangis.
Aku tidak menangis pada waktu ditangkap. Aku tidak mencucurkan air mata ketika aku dipenjarakan. Aku
tidak patah hati ketika anak kunci berputar dan rnengurungku dari dunia bebas. Pun tidak barangkali
kalau aku merasa tertekan dan menyesal terhadap diriku sendiri dalam liang kuburku. Akupun tidak
meratap bila menerima kabar bahwa orang tuaku sakit. Akan tetapi ketika aku mendengar partaiku pecah
dan kesempatan kecil bagi tanah airku semakin menipis, kukatakan padamu saudara, aku tak dapat
menerimanya. Aku meratap seperti anak kecil.
Namun tak sekalipun aku mempunyai pikiran untuk menyerah. Tidak pernah. Kekalahan tak pernah
memasuki pikiranku. Aku hanya mendoa, “Insja Allah, saya akan mempersatukannya kembali.”
Sementara itu, “Indonesia Menggugat” telah tersebar ke seluruh pengadilan di Eropa dan banyak protes
resmi datang dari ahli‐ahli hukum. Pengadilan Austria mengemukakan bahwa, karena tuduhan
terhadapku tidak pernah dibuktikan, maka putusan hukuman terhadap Sukarno sangat tidak
berperikemanusiaan. Para ahli hukum Belandapun mengeluarkan pendapatnya. Seorang professor
hukum di Jakarta, karena kaget oleh kekerasan itu, mengeluarkan pendapatnya dalam sebuah majalah. Ia
dipanggil setelah itu oleh Direktur Kehakiman yang marah kepadanya dan menegurnya karena telah
berani menentang keputusan Agustus dari Sri Ratu di muka umum. Demikian banyak tekanan telah
dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga Gubernur Jendral merubah hukumanku menjadi
dua tahun.
Sesaat sebelum aku dibebaskan, ada sebuah tulisan dengan judul “Saya Memulai Kehidupan Baru” yang
menguraikan tentang diriku dan disebarkan secara luas. Di pagi hari tanggal 31 Desember 1931, pada
waktu aku dalam pakaian preman untuk pertama kali selama dua tahun, Direktur Penjara mengiringkanku
ke pintu keluar dan bertanya, “lr. Sukarno, dapatkah tuan menerima kebenaran dari kata‐kata ini?
Apakah tuan betul‐betul akan memulai kehidupan baru?” Sambil memegang dengan tangan kananku
tiang pintu menuju kemerdekaan, aku menjawab, “Seorang pemimpin tidak berubah karena hukuman.
Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kernerdekaan, dan saya meninggalkan penjara dengan
pikiran yang sama.”

3 Komentar


Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar